Pink Wing Pointer

Selasa, 24 November 2020

 

KEBUDAYAAN ACEH

 

Kebudayaan Nanggroe Aceh Darussalam – Aceh merupakan salah satu wilayah Indonesia yang letaknya berada di bagian paling ujung sendiri dari rangkaian kepulauan Nusantara. Aceh atau yang juga dikenal dengan Nanggroe Aceh Darussalam merupakan suku pribumi yang memiliki akar sejarah istimewa bagi Indonesia. Aceh juga mendapat julukan serambi Mekkah, hal ini dikarenakan Aceh memiliki nilai ideologis islam yang melekat dan begitu kental dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam sejarah Aceh, banyak yang menyakini bahwa penduduk yang tinggal di daerah Aceh ini bukan asli dari suku Aceh, melainkan dari suku Mente yang asli dari ras Melayu. Tidak sedikit juga masyarakat Aceh yang merupakan keturunan India, Arab, Persia maupun Turki. Namun tetap saja kebudayaan masyarakat Aceh ini, masih sangat kental sekali dengan kebudayaan orang Indonesia, mulai dari bahasa, pakaian adat, tari-tarian, rumah adat sampai makanan khasnya.

Nah, berikut ini kami akan membahas artikel mengenai macam-macam buadaya Aceh. Langsung saja yuk simak pembahasan mengenai budaya Aceh dibawah ini.

 

1. Rumah Adat Aceh

 Rumah Aceh (Aksara Jawoë : رومه عادة اچيه) atau yang lebih dikenal dengan nama "Rumoh Aceh" merupakan rumah adat dari suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.

Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab adat. Kitab adat tersebut dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: ”Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë”. karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.  

Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat Aceh, istrilah yang dinamakan peurumoh, atau jiak diartikan dalam bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki rumah.

Rumah adat Aceh yang biasa dikenal dengan nama Rumoh Aceh atau Krong Bade. Namun ada beberapa hal yang unik dan menjadi ciri khas dalam rumah adat masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam ini, yaitu rumah yang seperti panggung dengan tinggi sekitar 2,5 meter sampai 3 meter.

Material yang digunakan dalam pembangunan rumah adat ini adalah kayu. Sedangkan untuk atapnya berasal dari anyaman dari daun enau atau daun rubia.

Ada beberapa faktor yang membuat rumah adat khas Aceh ini kuat dan kokoh, namun keunikannya terdapat pada kolong dari bawah rumah ini yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan, sedangkan untuk bagian panggungnya sebagai tempat istirahat atau penerima tamu.

Keunikan yang kedua dalam rumah panggung dari Aceh ini adalah tangga yang digunakan sebagai alat untuk naik ke dalam rumah, anak tangga tersebut berjumlah ganjil.

 

2. Pakaian Adat Aceh

Setelah mengenal rumah adat Aceh, selanjutnya kita akan mengenal pakaian adat Aceh. Pakaian adat aceh ini biasannya digunakan pada waktu tertentu yang termasuk ke dalam waktu yang istimewa atau penting. Pakaian adat Aceh ini ternyata termasuk ke dalam peninggalan sejarah kerajaan Perlak dan kerajaan Samudera Pasai. Nah untuk pakaian adat pria dikenal dengan nama baju Linto Biro, sedangkan untuk baju atau pakaian adat wanita disebut dengan nama Daro Buro.

Khusus untuk pakaian masyarakat Aceh pada awalnya selalu memakai bahan baku kain-kain yang ditenun sendiri baik dari bahan sutera maupun dari bahan kapas dengan ragam hias berbagai motif, seperti untuk membuat kain pinggang (ija pinggang), destar (tangkulok), kain pembungkus sirih (bungkoih ranub), celana kaum perempuan (siluweue inong), kain selendang (ija sawak), yang sesuai dengan cara memakainya juga disebut ija tob ulee (penutup kepala), ija slendang (selendang), ija seulimbot (selimut), kain lambung (ija lambong), yaitu kain yang dilipat tiga secara memanjang sehingga dapat menutupi sebagian badan.

     Adapun untuk pakaian adat, maka bahan baku yang dipakai juga sama dengan apa yang telah tersebut di atas, dengan komponen baju lengan panjang (bajee panyang sapai) berkerah Cina warna hitam polos dengan perhiasan ayeuem bajee atau taloe jeuem (tali jam) emas yang disematkan antara kancing kedua dari atas dan katong baju dan dilengkapi dengan bungkoih ranub atau ija seumadah yang disematkan di bahu kanan, celana panjang (siluweue panyang) polos, yang dilapisi dengan kain pinggang (ija pinggang) songket yang digulung hingga ujungnya (ulee ija) bagian bawah kira-kira 10 cm. di atas lutut, memakai rincong meupucok di pinggang kanan, kupiah meukeutob yang dililitkan destar dari kain songket yang digulung (tangkulok meuglong) pada salah satu sudutnya hingga meninggalkan satu sudut berlawanan yang membentuk pucok reubong pada posisi belakang kupiah meukeutob dengan perhiasan  tampok yang dilengkapi dengan perhiasan prik-prik,  pakai sepatu untuk pakaian adat lelaki.

     Akan halnya pakaian adat perempuan, juga memakai bahan-bahan tersebut di atas dengan komponen baju lengan panjang (bajee panyang sapai) warna hitam polos atau warna lain  sesuai selera, siluweue inong atau siluweue tunjong yang dilapisi dengan kain pinggang (ija pinggang) songket yang digulung hingga ujungnya (ulee ija) bagian bawah kira-kira 10 cm.di bawah lutut, dilengkapi dengan perhiasan-perhiasan  patham dhoe, bungong sunteng, ayeuem geumbak, ulee ceumara, subang, dan untaian bunga pada bagian kepala, klah takue, euntuek boh ru, keutap lhee lapeh, dan simplah di bagian leher dan dada, taloe keu-ieng patah sikureueng dan capeng pada pinggang, gleueng di lengan atas kiri dan kanan, dan sawek meurante pada kedua pergelangan tangan, memegang ayeuem bungkoih di tangan, gelang kaki (gleueng gaki), pakai sepatu atau sandal.

     Mengingat pakaian adat pada umumnya hanya dipakai pada upacara-upacara perkawinan dan upacara-upacara lainnya secara terbatas dan kurang terfomat, tingginya kecendrungan semakin terkikisnya dukungan dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap khazanah budaya Aceh, terutama pakaian adat, dan demi menggalakkan industri kecil dan ekonomi masyarakat, maka muncullah gagasan di kalangan pemuka masyarakat, tokoh-tokoh adat, para pemangku adat, para akademisi, dan pimpinan daerah untuk merevitalisasikan dan mereaktualisasikan pemakaian pakaian adat Aceh secara lebih luas dan terformat, terutama pada pimpinan, pejabat tinggi, pejabat eselon II, eselon III, eselon IV, dan para pegawai pada tingkat Pemerintah Aceh.

     Guna mengimplementasikan gagasan tersebut, maka dirancanglah suatu format pakaian adat Aceh untuk upacara adat dengan menagacu pada kazanah lama pakaian adat Aceh tersebut di atas, dengan penyesuaian-penyesuaian warna bahan dan aksesoris menurut struktur calon pamakainya.

 

 

3. Upacara Adat Aceh

Setiap daerah pastinya memiliki adat istiadat sendiri yang menjadi simbol dari daerah tersebut, sama halnya dengan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Aceh. Ada beberapa maksud dan tujuan dalam penyelenggaraan dalam upacara adat ini.

            Nah, biasannya upacara adat ini biasa ditemukan dalam beberapa acara, seperti perkawinan. Upacara adat yang dilakukan mulai dari proses pelamaran dengan beberapa tahapan, melamar, penjemputan calon atau mempelai wanita, tunangan, sampai menikah.
            Upacara adat suku Aceh di provinsi Aceh terdiri dari upacara kelahiran (membawa nasi, pemberian nama, turun tanah), pernikahan (lamaran, tunangan, resepsi pernikahan), kematian dan beberapa upacara adat lain seperti sunat rasul, peresmian rumah baru, kenduri blang, peusijuk padee bijeh, kenduri jeurat, kenduri haji.

Adat dan budaya Aceh memang sangatlah unik dan beragam. Salah satunya seperti upacara adat Aceh yang masih bertahan di tengah-tengah masyarakat Aceh sampai saat ini. Walaupun memang sudah ada beberapa tradisi yang ditinggalkan dan hanya dilakukan di tempat-tempat tertentu saja oleh penduduknya di Aceh.

Budaya Aceh memang sangat terkenal dengan upacara adat dan budayanya yang sakral. Misalnya upacara adat untuk kelahiran hingga upacara adat untuk kematian. Berikut ini merupakan macam-macam upacara adat dan budaya Aceh antara lain:

Upacara Troen U Blang

 
Kenduri Blang di Aceh

        Upacara Troen U Blang atau juga disebut Kenduri Blang (blang = sawah) merupakan sebuah upacara hajat yang dilakukan saat memulai musim padi di Aceh. Upacara tersebut dilakukan dengan tujuan agar tanaman padi dapat panen dan menghasilkan padi yang berlimpah. Sehingga dapat menambah penghasilan ekonomi penduduknya.

Upacara Tulak Bala

            Di dalam kehidupan pastinya akan selalu bala atau musibah yang sebisa mungkin dapat dihindari oleh manusia. salah satunya cara yang unik di Aceh untuk menolak bala adalah dengan melakukan Upacara Tulak Bala atau Tolak Bala. Upacara ini biasanya dilakukan pada bulan Shafar tahun Hijriyah yang merupakan bulan panas dan biasanya membawa banyak bahaya. Tradisi Upacara Tulak Bala biasanya banyak dilakukan oleh masyarakat di Aceh Barat dan Aceh Selatan.

Peutron Aneuk

               Upacara Peutron Aneuk biasanya akan dilakukan oleh masyarakat Aceh untuk menyambut kelahiran anak bayi di dunia. Sedangkan waktu pelasanaan Upacara Peutron Aneuk dilakukan dalam beberapa waktu seperti hari ke tujuh setelah kelahiran, dan ada juuga pada hari ke 44 dari usia si bagi. Dalam upacara Peutron lebih banyak menggunakan ritual-ritual yang simbolik, seperti merentangkan kain di atas kepala bayi dan membelah kelapa di atas kain. Kemudian kelapa akan diberikan kepada kedua orang tua yang melambangkan agar terus rukun. Ada juga yang megatakan buah kelapa yang dibelah bertujuan agar bayi tidak takut dengan suara petir.

Samadiyah

                Samadiyah merupakan tradisi adat dan budaya Aceh untuk berdoa secara bersama-sama untuk menghormati orang yang baru meninggal dunia. Samadiyah biasanya dilaksanakan selama tujuh hari tujuh malam secara berturut-turut setelah meninggal dunia. Masyarakat sekitar akan datang ke rumah keluarga untuk menghibur dan berdoa bersama dengan pembacaan zikir dan surat Yasin. Ada pula di beberap daerah lainnya, samadiyah dilakukan di Meunasah, atau surau kampung.

Meugang

                Meugang menjadi upacara tradisi adat dan budaya Aceh yang paling menarik. pada saat itu semua rumah keluarga akan dipenuhi dengan aroma masakan daging sapi atau kambing. Daging yang telah dimasak akan dinikmati bersama dengan keluarga, kerabat, anak yatim piatu, dan juga kaum dhuafa. Meugang di Aceh dilaksanakan pada sebelum Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

 

 

4. Tarian Adat Aceh

Dari sekian banyaknya kebudayaan dan kearifan lokal yang ada di tanah Nusantara ini, seperti tarian tradisional masyarakat Aceh.

Tarian Aceh yang terkenal adalah Tari Saman. Tari Saman ini memiliki unsur-unsur keindahan gerakan dalam bentuk seni yang unik. Gerakan yang dilakukan mulai dari tepukkan pada tangan, dada tanpa ada iringan musik tradisonal.

Diantara tarian tradisional dari Aceh adalah:

  1. Tari Saman
  2. Tari laweut
  3. Tari Didong
  4. Tari Tarek Pukat
  5. Tari Bines
  6. Rapai Geleng
  7. Tari Ratoh

 

5. Senjata Tradisional Aceh

            Untuk mengenal lebih jauh lagi mengenai kebudayaan dari Aceh, pmabahan selanjutnya adalah senjata tradisional Aceh.

Senjata tradisional suku Aceh biasa dikenal dengan nama Rancong, senjata ini merupakan senjata yang memiliki bentuk dan ukuran yang beragam, mulai dari yang berbentuk sejenis keris yang mulai dipakai oleh suku Aceh sejak zaman kesultanan.

Selain rancong, suku Aceh masih memiliki senjata tradisional lainnya, seperti:

  • Rencong.
  • Siwah.
  • Peudeung.
  • Reuduh.
  • Meucugek.
  • Peudeung Tumpang Jingki.
  • Rencong Meukuree

 

6. Makanan Khas Aceh

Setelah mengenal beberapa senjata khas Aceh, ternyata masakan adat yang biasa disajikan oleh masyarakat Aceh juga tidak kalah menarik untuk dibahas, karena juga telah cukup terkenal oleh masyarakat Indonesia.

Masakan khas Aceh ini hampir memiliki corak yang sama dengan maskaan khas India. Di antara makanan khas Aceh ini kebanyakan terdiri atas masakan yang terbuat dari ikan atau yang disebut oleh masyarakat sekitar dengan nama Eungkot Paya.

Apabila berkunjung ke Aceh jangan lupa untuk mencicipi  kuliner khas yang ada di sana, sekaligus belajar untuk mengenal adat istiadat dari daerah Aceh.

Berikut ini adalah daftar makanan khas Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu:

  1. Manisan Pala.
  2. Sanger.
  3. Pisang Sale.
  4. Kembang Loyang.
  5. Lepat.
  6. Rujak Aceh Samalanga.
  7. Kue Bhoi.
  8. Keumamah.
  9. Meuseukat.
  10. Bohromro.

 

7. Bahasa daerah Aceh

https://wtf2.forkcdn.com/www/delivery/lg.php?bannerid=43997&campaignid=7201&zoneid=4751&loc=https%3A%2F%2Fwww.hipwee.com%2Flist%2Fketahui-5-fakta-menarik-tentang-kebu%2F&referer=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F&cb=f00badabc8            Adapun Bahasa daerah yang biasa dipergunakan dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakat Aceh sendiri adalah Bahasa Gayo , Bahasa Alas, dan sebagainya.

Bahasa yang mereka gunakan tidak lepas dengan kehidupan sehari-hari dan masyarakat Aceh menggunakan bahasa ini.

  1. Bahasa Aceh, yaitu bahasa yang paling banyak penuturnya di daerah Aceh, yaitu sebagian daerah Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, Langsa. Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Jaya, sebagian Aceh Barat Daya, Nagan Raya, dan sebagian Aceh Selatan dan Aceh Tamiang; Bahasa ini dianggap dekat dengan bahasa Champa masuk dalam rumpun Chamic (daerah di Kamboja dan Vietnam), hal ini diduga karena terdapat kosakata bahasa Aceh yang sama artinya dalam bahasa Champa. Namun belum ada penelitian yang membuktikannya secara akademis;
  2. Bahasa Gayo adalah bahasa yang didukung oleh penduduk Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Luwes dan sebagian Aceh Tenggara, di satu kecamatan Aceh Timur; Merupakan bahasa dengan jumlah penutur kedua terbanyak di Aceh. Meskipun belum ada penelitian sahih tentang kekerabatan bahasa ini namun terdapat warna Batak dan Aceh dalam kebudayaannya;
  3. Bahasa Alas adalah bahasa yang penuturnya ialah orang Alas di Aceh Tenggara; Bahasa ini memiliki pertalian dengan bahasa Batak menurut SIL Internasional*;
  4. Bahasa Singkil digunakan oleh sebagian besar penduduk Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Menurut SIL International bahasa ini berkerabat dengan bahasa Karo. Bahasa ini memiliki nama lain yaitu bahasa Julu, Boang dan Kade-Kade.
  5. Bahasa Tamiang (Melayu) adalah bahasa yang diucapkan oleh orang Melayu di Aceh Tamiang meliputi kecamatan Bendahara, Karang Baru, Tamiang Hulu, Seruway dan sebagian kecamatan Kuala Simpang; Bahasa ini mirip dengan dialek Melayu Deli dan Melayu Riau;
  6. Bahasa Aneuk Jamee, penduduknya adalah sebagian dari penduduk Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya; Terbanyak penuturnya di Kecamatan Labuhan Haji, Labuhan Haji Timur, dan Sama dua. Bahasa ini juga digunakan di Kecamatan Kaway IX dan sebagian Mereubo di Kabupaten Aceh Barat. Kecamatan Susoh di Kabupaten Aceh Barat Daya, di sebagian Kota Subulussalam, Singkil dan sebagian Kota Sinabang di Kabupaten Simeuleu. Bahasa ini asalnya adalah bahasa Minangkabau yang dibawa bersamaan dengan hijrahnya sebagian orang Aceh yang berkeluarga dengan orang Minang semasa Kesultanan Aceh Darussalam Berjaya. mereka disebut sebagai jamee atau tamu, yang dalam budaya Aceh harus dimuliakan. Di kemudian hari terjadilah migrasi orang Minang ke pantai Barat Selatan Aceh untuk mencari kehidupan yang lebih layak di negeri baru.
  7. Bahasa Kluet yaitu bahasa yang diucapkan oleh orang Kluet di Aceh Selatan yaitu di Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur dan Kluet Tengah. Menurut SIL International juga berkerabat dengan bahasa Batak. Klaim tersebut agak meragukan sehingga diperluan penelitian mendalam baik secara sinkronil maupun diakronik;
  8. Bahasa Devayan atau disebut juga Simalur digunakan di Pulau Simeulue bagian Timur dan sekitarnya. Bahasa ini mendapat pengaruh dari bahasa Nias;
  9. Bahasa Sigulai digunakan di Pulau Simueleu bagian Barat dan sekitarnya. Bahasa ini mendapat pengaruh dari bahasa Nias; Bahasa Sigulai dan bahasa Devayan di Pulau Simeuleu memiliki sejumlah kata yang sama, tapi dianggap sebagai bahasa yang berbeda;
  10. Bahasa Haloban dituturkan oleh beberapa ribu orang di Desa Haloban dan Asantola di Kecamatan Pulau Banyak Barat. Bahasa ini diduga dipengaruhi oleh bahasa Nias. Bahasa ini diambang kepunahan seiring dengan menyusutnya jumlah penuturnya.

 

 

8. Lagu Daerah Aceh

Setelah mengetahui makanan khas serta bahasa keseharian, tidak lengkap apabila tidak mengetahui mengenai lagu daerah yang ada di Aceh ini.

Penduduk di Nanggroe Aceh Darussalam, ternyata memiliki beberapa lagu kebudayaan yang nyaman dan enak untuk didengar.

Nah, diantara dari macam-macam lagu daearah yang ada di Aceh adalah:

  1. Bungong Jeumpa.
  2. Piso Surit.
  3. Tawar Sedenge.
  4. Aceh Lon Sayang.
  5. Sepakat Segenap.
  6. Aneuk Yatim.
  7. Lembah Alas.

 

Nah itulah 8 kebudayaan yang ada di daerah Aceh, yang menjadi wilayah ini menjadi salah satu yang memiliki nilai kultur yang religius. Semoga dengan ulasan ini Anda bisa mengenal dan memperluas kebudayaan yang Aceh sebagai salah satu warisan dan kebudayaan Nusantara.

 

  KEBUDAYAAN ACEH   Kebudayaan Nanggroe Aceh Darussalam – Aceh merupakan salah satu wilayah Indonesia yang letaknya berada di bagia...